Jangan Salah Sangka

 

Berjenggot Tak Berarti Radikalis

Oleh: Dudi Farid Wazdi*

Diceritakan, hampir 13.000 pria di Tajikistan telah mencukur habis jenggot atas perintah polisi. Hal ini dilakukan sebagai bagian dari kampanye nasional untuk menangkal penyebaran paham Islam yang radikal. Para  pejabat pemerintah juga mengatakan upaya ini diambil untuk mengatasi apa yang mereka sebut 'pengaruh asing'.

TENTU saja,  aturan ini mengundang kontroversi karena, tampaknya ‘kurang relevan’ . Ada banyak pihak yang merasa dipermalukan dan meyakini bahwa: kampanye itu tak berguna atau hanya sekedar menghilangkan rasa takut pada faham radikal, sementara penanganan pada akar masalahnya tak dilakukan.

APA DAN KENAPA DENGAN JENGGOT

Jenggot (lihyah) adalah rambut yang tumbuh pada kedua pipi dan dagu. Jadi, semua rambut yang tumbuh pada dagu, di bawah dua tulang rahang bawah, pipi, dan sisi-sisi pipi disebut lihyah (jenggot) kecuali kumis. (Lihat Minal Hadin Nabawi I’faul Liha, ‘Abdullah bin Abdul Hamid dengan edisi terjemahan ‘Jenggot Yes, Isbal No’, hal. 17).

Kemudian, tak sedikit orang berpendapat bahwa jenggot merupakan syari’at Islam dan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Misalnya sebuah hadits dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Potong pendeklah kumis dan biarkanlah (peliharalah) jenggot.” (HR. Muslim no. 623).  Dan banyak lagi hadis yang menganjurkan untuk memelihara jenggot. Ada banyak alasan dalam pemeliharaan jenggot ini, selain merupakan melaksanakan anjuran, perintah, sunah fitroh dan sejenisnya juga untuk membedakan dengan keadaan kaum musrik disaat itu, dan seterusnya.

Senyatanya,  jenggot adalah hanya sekedar bulu yang tumbuh dimuka. Senyatanya pula tak semua orang memiliki bulu itu. Oleh karenanya,  jelas tak pantas kalau itu merupakan sebuah sunnah (baca: ajaran). Lagi pula semua hadits tentang jenggot yang disenyalir sebuah sunnah telah dimansukh (dihapus) dengan hadits yang lainnya, misalnya sebuah hadits yang artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah Abdirrahman bin Syahrin radhiyallahu ‘anhu, ‘Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada tubuh kalian dan tidak pula kepada rupa kalian, tetapi Dia melihat kepada hati kalian.” (HR. Muslim).

JENGGOT  BUKAN SUNNAH RASUL

Seyogyannya,  dalam memahami sebuah hadis harus dilihat munasabah (hubungan) matan (isi) hadis sebelumnya,  harus  pula memahami asbab wurud al-hadis (latarbelakang histori dan situasi) hadis tersebut disabdakan. Tekstual dan kontekstual matan hadis baru bisa dipahami secara akurat setelah mencermati asbab wurud-nya.

Matan hadis tentang itu berdasarkan hasil takhrij (penelurusan melalui kamus Hadis) ditemukan dalam Bukhari (5443 dan 5893), Muslim (260, 380, 381, 382, 383, 623), Turmuzi (2687 dan 2688), al-Nasai (15, 4959, 4960, 5131).  Dari sini diketahui ada dua redaksi hadis yang berbeda matannya. Pertama, Inhaku al-syawariba wa a’fu al-lihay (habiskanlah kumis dan biarkan jenggot seadanya).

Kedua, juzzu al-syawariba wa arkhu al-lihay khalifu al-majusa (pendekkanlah kumis dan pelihara jenggot, selisihilah kaum Majusi) karena mereka, terutama Majusi pedesaan memiliki kebiasaan memanjangkan kumis dan mencukur jenggot. Tetapi di Mekah kebiasaan itu rupanya tidak berlaku karena Abu Lahab, Abu Jahal dan pemuka kaum Kafir di Mekah saat itu juga berjenggot, tak ada bedanya dengan sahabat lain.

Jadi,  perintah dalam matan hadis ini diperuntukkan kepada sahabat Nabi di pedesaan yang berinteraksi dengan kaum Majusi karena ternyata sahabat Nabi, Ibnu Umar yang juga mendengar langsung hadis itu disabdakan, memotong jenggotnya jika merasa terlalu panjang.

Nah, ditinjau segi asbab wurud hadis berkenaan dengan historinya, pada masa Nabi atau bersamaan saat hadis itu disabdakan, di daerah pedesaan khususnya di negeri Ajam memang terlihat dikotomi antara muslim dan non-muslim sehingga dibutuhkan suatu identitas untuk membedakan di antara keduanya.

Ketika itu, hadis diyakini sebagai suatu hal yang harus dipenuhi, sehingga menjalankan apa yang diperintahkan oleh Nabi untuk mereka merupakan kewajiban yang harus dilakukan, sehingga kandungan matan hadis tersebut selain bersifat lokal juga temporal, tidak bersifat universal. Konteks kekinian, hal tersebut dianggap tidak relevan dengan melihat bahwa banyak pula umat non-muslim yang memanjangkan jenggotnya.

Perlu dipahami bersama bahwa jenggot itu terdiri dari tiga kategori. Pertama, jenggot biologis seperti orang-orang Arab.  Kedua,  jenggot ideologis seperti orang-orang yang memaksakan dirinya berjenggot dengan berbagai cara misalnya membeli obat penumbuh-penyubur jenggot. Ketiga, gabungan idiologis-biologis. Kategorisasi ini, hendaknya disesuaikan dengan individu masing-masing, bagi mereka yang tidak bisa tumbuh jenggotnya, tak usah dipaksakan. Mereka yang dikarunia tumbuh subur jenggotnya, silakan pelihara dan rawat dengan rapih jika memungkinkan tetapi jangan dijadikan sebagai simbol sunnah karena itu hanya sebagai assesoris fisik belaka.

Wal akhir, bagi yang berjenggot jangan divonis salah terlebih dihubungkan dengan faham yang radikal sehingga dipaksa harus dicukur seperti di Tajikistan. Pemberantasan faham radikal selayaknya  dilakukan dengan pendekatan kesejahteraan,  keadilan yang merata, pemberian pekerjaan yang layak dan pembinaan dari pihak terkait. Wallahul Muwaffiq Ila Aqwamit Thariq.

(*) Penulis adalah Penyuluh Agama Kemenag Kabupaten Indramayu.

Komentar

Posting Komentar